"DOKTER REVOLUSIONER"

“Intelektual adalah bagian dari masyarakat, sebuah adegan konfrontasi tanpa akhir antara mereka yang menggunakan kekuasaan untuk memelihara status quo
dan mereka yang berjuang demi perubahan”

Rabu, 03 Maret 2010

"Orang Miskin Dilarang Sakit, Tarif RS Bakal Naik"

Warga miskin jangan sampai sakit. Biaya berobat kelas III di lima rumah sakit milik Pemprov Jatim sebentar lagi naik hingga 72 persen.

Lima RS pemprov itu adalah RSU Dr Soetomo Surabaya, RSJ Menur Surabaya, RS Saiful Anwar Malang, RS Haji Surabaya, dan RS Sudono Madiun.

Draf kenaikan tarif hampir rampung, tinggal dikonsultasikan kepada gubernur untuk dibuatkan peraturan (pergub).

Kepala RS Dr Soetomo Slamet R Yuwono, Selasa (2/3), mengungkapkan, kenaikan itu untuk menyesuaikan tarif yang sudah 10 tahun ini tidak naik. Selain itu, juga untuk mengurangi ketergantungan kepada keuangan pemerintah daerah.

Di rumah terbesar di Jatim itu, yang naik, antara lain, tarif pemeriksanaan radiologi dari Rp 572.500 menjadi Rp 670.000. Akomodasi perawatan dari Rp 12.000 menjadi Rp 30.000, tindakan operatif dari Rp 2,1 juta menjadi Rp 4 juta.

Di RS Saiful Anwar, kenaikan tertinggi pada tindakan medik operatif besar dari Rp 2,04 juta menjadi Rp 3,1 juta. Di RS Haji, tindakan operasi dari Rp 1,105 juta menjadi Rp 2,05 juta.

Namun, lima pimpinan RS yang hadir dalam dengar pendapat dengan Komisi C DPRD Jatim di Surabaya, kemarin, belum mengetahui kapan tarif baru akan diberlakukan.

Slamet menegaskan, jika ada permintaan dari pemerintah supaya orang miskin berobat gratis, maka pemerintah harus membeli biaya operasional kelas III. Untuk kelas III, biaya tempat tidur per hari Rp 30.000 kali 365 hari, sehingga semua orang yang masuk ke kelas III bisa dibebaskan dari biaya.

Kelas III banyak digunakan warga miskin. Dengan banyaknya pasien rujukan menjadikan beban utang RSU Dr Soetomo semakin tinggi. Apalagi, pemprov hanya menyubsidi Rp 30 miliar.

Pendapatan RS ini Rp 180 miliar. Namun, uang ini dikelola kembali untuk pengadaan peralatan kesehatan, obat-obatan, menambah ruang rawat inap, dan biaya operasional lainnya.

RSU Dr Soetomo memiliki 1.550 tempat tidur. Sebesar 62 persennya dihuni pasien kelas III. Setiap hari, diperkirakan ada 3.000 pasien yang ke sana. Selebihnya adalah pasien yang memakai askes, astek, dan mereka yang mampu bayar.

Menurut Slamet, setiap tahun, RSU Dr Soetomo mengeluarkan biaya tak terduga hingga Rp 1,5 miliar – Rp 2 miliar per tahun. Ini untuk menalangi pasien. Misalnya, ada pasien kena biaya Rp 10 juta untuk pengobatan, ketika keluar, hanya membayar Rp 2 juta. Masih utang Rp 8 juta.

”Saya bentuk tim penagihan. Tapi, kadang-kadang pasien memberikan alamat yang tidak jelas,” tambahnya.

Ketua Komisi C Kartika Hidayati tidak mempermasalahkan lima RS menaikkan tarif, asalkan tidak menyalahi aturan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Menurutnya, RS pemprov ini memiliki otoritas yang diatur dalam BLUD Kebijakan menaikkan tarif RS tersebut acuannya bukan lagi Peraturan Daerah.

”Bahwa, mereka mau menaikkan tarif, tapi mereka juga harus menaikkan fasilitas yang bisa diterima oleh pihak pasien,” katanya.

Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah menemukan angka besaran kenaikan tarif pelayanan kesehatan di lima RS pemprov. Namun, terkait fungsi koordinasi birokrasi, besaran angkanya harus dicek DPRD sebagai wakil rakyat.

“Itu penting agar angka kenaikannya benar-benar fair. Ini terlihat dari beberapa biaya cost recovery yang harus dikeluarkan setiap RS,” ujarnya.

Menurut Soekarwo, kenaikan tarif itu tidak dapat dielakkan. Karena setelah ditetapkan menjadi BLUD, lima RS pemprov harus mengelola rumah tangga dan menghitung sendiri pendapatan dan pengeluarannya.

“Pemerintah tidak akan lagi membantu, selain untuk pembangunan gedung,” jelasnya.

Meski demikian, agar masyarakat tidak terbebani, penghitungan cost recovery harus dilakukan tim independen.

“Sama halnya dengan jual beli tanah, kan ada pihak yang menentukan berapa NJOP-nya, supaya harganya fair,” imbuh Soekarwo. niks/uji

Selasa, 02 Maret 2010

"Tahun 2010 Dokter Wajib Magang"


Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mewajibkan lulusan Fakultas Kedokteran untuk ikut program internship (pemagangan) selama setahun.

Program itu sebagai salah satu syarat bagi calon dokter yang nantinya akan mengajukan surat tanda registrasi (STR). Surat itu sendiri bakal dipakai untuk mengajukan izin praktik kedokteran.

Wakil Mendiknas Fasli Jalal mengatakan, pendidikan kedokteran saat ini bakal ditekankan berbasis kompetensi pembelajaran (competence based learning). Sesuai standar internasional dan amanat UU Sisdiknas, program based learning (PBL) wajib diterapkan. Salah satunya, melalui kurikulum berbasis kompetensi.

Sebelumnya, kata Fasli, ada empat mata pelajaran wajib yang harus dipelajari mahasiswa kedokteran. Yaitu, pra klinik dasar (kimia, fisika, biologi, dan matematika), pre klinik (anatomi, bio-kimia), para klinik (farmakologi, klinik patologi), dan klinik (berbagai ilmu tentang penyakit). Mata pelajaran tersebut diberikan secara terpisah. “Namun, dengan PBL semua ilmu itu dilebur menjadi satu paket,” terangnya.

Dengan program itu, pembelajaran lebih singkat. Dari normalnya empat tahun bisa dipersingkat tiga tahun. Fasli menyebut, saat ini ada 69 Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia. Sejatinya, kata dia, hampir semua FK telah menerapkan PBL. “Hanya saja, ada yang baru memulai. Ada yang separo jalan dan ada yang hampir selesai,” terang alumnus Universitas Andalas itu.

Yang telah melaksanakan PBL dengan tuntas ada 14 FK. Artinya, kata Fasli, 14 FK itulah yang nantinya wajib memulai program internship. Karena FK yang sudah ada PBL yang bisa me-laksanakan internship. Program itu sendiri mulai diberlakukan tahun ini. “Nantinya akan disusul semua FK di seluruh Indonesia seiring dilaksanakannya PBL secara tuntas,” ujarnya.

Fasli mengatakan, jika satu FK rata-rata meluluskan 100 calon dokter, maka akan ada 1.400 lulusan yang wajib ikut program internship. Mereka bisa ikut internship di puskesmas maupun berbagai rumah sakit daerah. “Selama magang, mereka akan di dampingi dokter senior,” ujar mantan Dirjen Dikti itu.

Fasli mengatakan, kebutuhan dokter di Indonesia kurang lebih mencapai 20 ribu orang. Tiap tahun, diprediksikan ada 3.000-5.000 lulusan kedokteran. Artinya, kebutuhan dokter di Indonesia baru bisa dipenuhi sekitar 6-7 tahun.

Selain itu, kata dia, rasio dokter-pasien di Indonesia idealnya 1:10 ribu. Di negara maju, rasionya sudah 1:5.000. Untuk mencapai rasio 1:10 ribu, diperlukan 210 ribu dokter. “Kalau untuk mencapai formasi ideal, kebutuhannya akan semakin tinggi. Karena kita baru memiliki 80 ribu dokter,” sebut-nya.(kit/iro/jpnn)

"Kisah Dokter Indonesia Di majalah Time"


http://219.83.122.194/web/images/stories/Foto/dokter.jpg
Orang Indonesia tentunya sudah hapal sistem kesehatan di Indonesia yang masih jauh dari maksimal. Tapi kalau cerita miring soal kredibitas dokter Indonesia sampai diulas secara internasional tentunya harus menjadi perhatian khusus.

Situs majalahTime edisi 17 Februari 2010 memaparkan sebuah esai panjang tentang bagaimana memprihatinkannya kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia. Tulisan tersebut ditulis wartawan Jason Tedjasukmana, yang menjadi koresponden untuk Time Asia.

Intinya si jurnalis ingin menceritakan minusnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Berkaca dari pengalaman pribadinya yang menderita sakit mata. Di saat tak ada satu dokter Indonesia pun yang bisa mendiagnosis penyakitnya, dokter Amerika bisa mengetahuinya hanya dalam 5 menit.

Seperti dikutip dari Time, Selasa (23/2/2010), Jason menceritakan kisahnya.

Saya tidak pernah menduga akan menceritakan sistem kesehatan di Indonesia yang buruk. Meski saya merasa ragu dengan prosedur kesehatan di negara yang sudah saya tempati sejak tahun 1994 ini, tapi saya cukup percaya dengan dokter-dokter lokal di Indonesia. Tapi ternyata saya salah.

Pada April 2009, mata kanan saya mulai gatal dan memerah. Penglihatan saya mulai kabur tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mata saya. Akhirnya saya menemui dokter dan disarankan untuk menemui spesialis karena masalahnya diperkirakan ada pada kornea.

Saya pun mengikuti sarannya, tapi setelah berkeliling dan menemui banyak dokter spesialis mata di Jakarta, keadaan mata saya justru semakin memburuk. Seminggu kemudian, saya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan mencari pengobatan di luar, tapi ternyata sudah terlambat.

Kondisi kornea saya sudah terlanjur rusak. Dokter di Singapura tempat saya berkunjung dan juga hampir kebanyakan orang Indonesia yang ingin berobat menyarankan agar dilakukan transplantasi kornea jika teknik lainnya gagal. Akhirnya saya memutuskan pergi ke Amerika untuk mencari jalan lain.

Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia menurut saya jauh dari memadai. Hal tersebut diakui pula oleh mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr Kartono Mohammad. "Kita tidak punya sistem kesehatan. Tidak ada kontrol terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Indoensia," ujar Dr Kartono.

Untuk tahun 2010, menteri kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih telah mengalokasikan dana sebesar 2,2 miliar dolar AS atau Rp 22 triliun untuk anggaran kesehatan, tapi angka itu dianggap masih kurang dan seharusnya sebesar 110 miliar miliar dolar (Rp 110 triliun). "Tentu saja itu masih belum cukup, tapi sistem pelayanan kesehatan sudah termasuk di dalamnya," tutur Endang.

Tentu saja tidak mengejutkan jika ratusan warga Indonesia meninggal tiap tahunnya akibat tuberculosis, malaria, demam berdarah dan penyakit lainnya. Tapi yang membuat saya bingung adalah bagaimana sebuah penyakit mata yang saya alami tidak terdiagnosa oleh satu pun dokter, padahal penyakit itu bisa memicu kebutaan.

Saya terpaksa pergi ke Amerika karena enam dokter di Indonesia sudah tidak bisa menjelaskan penyakit tersebut. Berbeda dengan dokter Indonesia, seorang dokter di Michigan langsung bisa mendiagnosis masalah dalam 5 menit.

"Anda terkena penyakit vernal conjunctivitis. Jika dokter di sana melihat dan memeriksa bagian di bawah kelopak mata Anda, penyakit ini sebenarnya bisa langsung ketahuan," ujar dokter Michigan yang memeriksa Jason.



http://act.eramuslim.com/UserFiles/bakti-sosial-papdi-02.jpg


Menurut saya, sebenarnya para dokter di Indonesia sudah memeriksa bagian tersebut. Tapi tidak ada satu dokter pun yang menyadarinya dan melewatkannya begitu saja. Dokter di Jakarta hanya memberi steroid untuk mengurangi pembengkakan.

Dokter di Jakarta juga melakukan pembersihan mata dengan cara mengurangi lapisan mata. Harapannya yaitu agar tumbuh lapisan baru di atas lapisan yang rusak. Namun sakit yang dirasakan seperti ada keramik atau kaca yang ditusuk ke dalam mata saya.

Sebenarnya saya ingin menggugat dokter tersebut tapi Dr Kartono dan pakar kesehatan lainnya mengatakan bahwa kemungkinan memenangkan kasus malpraktik di Indonesia sangatlah kecil bahkan penggugat bisa jadi harus membayar kerugian yang lebih besar.

Setelah 9 bulan mengeluarkan ribuan dolar dan menjalani prosedur pengobatan di Amerika, 50 persen penglihatan saya sudah kembali normal. Meski saya masih merasa pusing dan tidak nyaman dengan ketidakseimbangan penglihatan kiri dan kanan, tapi saya optimistis mata saya akan kembali normal.

Saya sangat beruntung karena bisa mencari pengobatan di luar, tapi bagaimana dengan mereka yang tidak mampu dan tidak tahu harus berobat kemana? Semakin saya bertanya pada dokter-dokter di Jakarta, semakin banyak kekhawatiran dan cerita horor yang timbul.

Kasus Prita Mulyasari yang berani mengkritik sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah satu contoh bahwa ada yang salah dengan sistem kesehatan di Indonesia. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan setelah ini, tapi saya menyarankan agar Prita punya keberanian untuk menantang sistem yang sudah banyak mengorbankan orang banyak.(fah/ir)



sumber :http://health.detik.com/read/2010/02/23/130257/1305006/763/cerita-miring-dokter-indonesia-di-time